Ilmu Berkurang tetapnya Kebodohan

Rasulullah ﷺ bersabda,

ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ

“ Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tetapnya kebodohan.“ (HR. Bukhari)

Hal ini diuraikan lebih lanjut dalam sabda Rasulullah ﷺ,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ؛ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً،

فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.

“ Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ .

“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghapalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”. (Syarh Nawawi lishahih Muslim 16/223-224)

Ciri utama seorang ulama dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Faathir 35 : 28,

Terdapat dalam kalimat ‘innama yakhsha laha min ibadihil ulama innal laha azizun ghafur’

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat tersebut :

” Yakni, hanya yang khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah terhadap-Nya.”

Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ‘dicabutnya ilmu dan tetapnya kebodohan’ dengan perkataannya,

“Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” (Fat-hul Baari (XIII/16)

Situasi jaman sekarang memang belum sepenuhnya seperti apa yang dimaksud hadits di atas. Pertanda hari demi hari semakin kuat kearah yang mana ‘Ilmu berkurang’. Para Ulama yang khasy-yah terhadap Allah ﷻ bukan lagi orang yang dikenal di tengah-tengah masyarakat khususnya Indonesia.

Secara luas telah bergeser apa yang dimaksud ‘ilmu’ agama, lebih ke arah tekstual, kuantitas, hapalan, logika dan kefasihan berbicara yang disebut ‘Eksistensialis’.

Sedangkan tuntutan Allah ﷻ dalam berilmu adalah ‘Jadilah manusia yang paham Agama’ (Fuqaha).

Kita mengenal banyak tokoh Ulama Indonesia yang telah wafat, mereka di masa mudanya tidak dikenal dan tidak berani berbicara agama karena taqwa. Adanya kesadaran diri akan pemahaman dan pengalaman yang masih terbatas. Kearifan yang dicapai di saat usia tua pun tetap berhati-hati dalam risalah agama.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu`anhu sabda Rasulullah ﷺ,

“ Kiamat tidak akan terjadi sebelum waktu (terasa) saling berdekatan. Satu tahun seperti sebulan, satu pekan seperti sehari. Satu hari seperti satu jam. Satu jam seperti lamanya membakar daun korma.” (HR. Imam Ahmad)

Bagi orang beriman hal ini sudah dirasakan intensitas waktu yang semakin berdekatan. Akibatnya manusia semakin tergesa-gesa dalam segala urusan, termasuk pemahaman agama.

Misalkan seseorang membutuhkan 22 tahun 2 bulan dan 22 hari (masa Al-Qur’an diturunkan) dalam memahami agama. Yang hidup ratusan tahun yang lalu, berbeda kualitas pemahamannya dibandingkan dengan masa kini.

Kecanggihan sistem pendidikan agama di akhir jaman hanya diukur keilmuannya berdasarkan titel seperti Profesor dan Doktor, disamakan penilaiannya dengan ilmu-ilmu Dunia. Intelegensi Otak yang hanya di asah, sedangkan Intelegensi Hati yang datang dari Nur Illahi di abaikan.

Jauh berbeda dengan pola pendidikan madrasah Rasulullah berikut 3 generasi terbaiknya sepanjang jaman.

Akhir-akhir ini fenomena di kalangan generasi muda yang terlalu bersemangat hingga sering tampil di seluruh media dan memiliki banyak pengagumnya atau pengikutnya.

Mereka ditunjuk dan terkenal dalam waktu singkat dan berbicara risalah agama yang cakupannya tanpa batas. Tidak ada sikap ke-hati-hatian, hanya berbicara apa yang terlintas sesaat di benaknya dan pandai ber-argumentasi.

Nasehat bagi mereka yang demikian disabdakan oleh Rasulullah ,

“Sesungguhnya pada segala sesuatu itu ada masa semangat. Dan pada kesemangatan itu ada (masa) kemalasan. Kalau orang yang dalam kondisi malas dapat menjaga keseimbangan (amalannya). Maka semoga mendapatkan kemenangan. Kalau dia (terlalu semangat dalam beramal sampai terkenal) dan ditunjuk. Maka dia jangan dimasukkan (golongan orang saleh).” (HR. Tirmizi, no. 2453)

Dukhn atau kotoran jaman merupakan ampas dari ‘Kebaikan dan Keburukan Jaman silih berganti’ (Buku “Sejarah Manusia Masa Depan”), harus di sadari sepenuhnya.

Tergerus arus modernisasi dan globalisasi, tidak seorang pun yang bisa menghindari Dukhn yang masuk melalui bawah sadar, mulai melekat di hati manusia. Pengaruh Dukhn bisa terdeteksi dari banyak kekhilafan dan hasil pemahaman para pengikutnya. Ada pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

Kebodohan yang menetap akibat Dukhn yang semakin meningkat. Habis waktu manusia dengan kesibukan kehidupan duniawi yang diciptakannya dan hasil karya manusia itu sendiri.

Hilangnya interaksi dengan ciptaan Allah ﷻ baik dengan makhluk-makhluk-Nya dan alam Ciptaan-Nya. Hingga melupakan tugas penting sebagai Khalifah di muka Bumi ini. Sesungguhnya interaksi tersebut banyak manfaat dan kebaikan bagi manusia.

Di akhir jaman ini terutama bagi kalangan ustad, da’i dan ulama generasi muda agar senantiasa introspeksi diri dan membersihkan diri dari Dukhn yang semakin hari semakin menumpuk. Dikarenakan kondisi jaman sudah berada pada posisi “Puncak Keburukan Jaman”.

Tinggalkan komentar